Abu Khaulah Zainal Abidin
Latar Belakang
“Didiklah anakmu. Karena sesungguhnya mereka diciptakan untuk zaman yang berbeda dengan zamanmu ” [Hikmah].
Sya’ir di atas sangat masyhur di kalangan ulama dan tertulis hampir di setiap kitab yang membahas masalah pendidikan. Ia merupakan prinsip yang tak terbantahkan dan telah memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi para pendidik bahwa pendidikan harus juga berorientasi ke masa depan karena buahnya baru dapat dirasakan justru di saat yang berbeda dengan masa penanamannya. Artinya, sebuah pendidikan haruslah juga diilhami oleh kecenderungan-kecenderungan masa depan dan bukan dibangun dengan visi kekinian semata.
Sampai di sini seakan tak ada yang istimewa dari sya’ir di atas. Bukankah pendidikan yang “berorientasi pasar” pun merupakan wujud prinsip di atas?.
Benar, namun tentu tak sesederhana itu maksudnya, juga ia diucapkan bukan dalam konteks lapangan kerja. Sya’ir di atas tak dapat dilepaskan dari konteks “syar’i”, yakni Al Qur’an dan As Sunnah. Ia berbicara tentang Aqiedah, Ibadah,dan Akhlaq manusia di zaman di mana ummat tercerai-berai dalam kesesatan [Hadits Iftiroqul Ummah], perkara sholat dilalaikan [S.Maryam : 59], rusaknya akhlaq, sementara Islam menjadi sesuatu yang asing [Hadits Al Ghurobaa].
Dengan demikian tentu yang dimaksud adalah agar kita mempersiapkan generasi yang kelak dapat bertahan hidup di atas syari’at Islam di zaman di mana urusan dunia telah membuat orang tak lagi mengenal SIAPA yang harus diibadahi dan bagaimana cara beribadah kepada-NYA.
Sayangnya kebanyakan kita masih meletakkan pendidikan ilmu syar’i di dalam posisi pasif, semata sebagai pelengkap kurikulum. Dan tentu saja terlambat jika syari’at Islam baru “dilirik” manakala telah terjadi kemerosotan akhlaq sebagai ekses “kemajuan” zaman. Karena mengasah iman dan akhlaq tentu tak semudah mengasah kecerdasan dan ketrampilan. Apalagi karena problema sosial itu timbul dari sistim yang ia [Islam] bukan sebagai blue print-nya.
Agama adalah pedoman hidup. Melaluinya seseorang mengetahui untuk apa ia diciptakan, apa yang harus ia perbuat, apa yang mendatangkan manfa’at atau mudlarat bagi dunia dan akhiratnya, apa saja yang harus diprioritaskan, serta kepada siapa ia harus memberikan loyalitas dan terhadap siapa ia harus berlepas diri.
Untuk itu, seorang anak harus terlebih dahulu diperkenalkan kepada ilmu-ilmu syar’i [yang bersumber dari Al Qur’an dan As Sunnah] sebelum disibukkan oleh ilmu lainnya. Kepada anak ,sejak dini harus ditanamkan sikap mendahulukan ilmu-ilmu fardlu ‘ain di atas ilmu-ilmu fardlu kifaayah. Hanya dengan cara inilah akan tumbuh kelak generasi yang sadar akan kedudukannya sebagai hamba-Allah, terlebih di zaman di mana hedonisme [pengagungan dunia] sudah ditanamkam secara sistimatis kepada anak-anak kita sejak dini.
Lagi-lagi disayangkan, pendidikan yang diterima anak-anak kita tidaklah demikian. Mereka harus menanggung beban yang lebih berat dibandingkan dengan sebayanya. Karena pada saat yang bersamaan harus mempelajari apa-apa yang wajib mereka kuasai sebagai muslim di samping pelajaran-pelajaran yang tak ada sangkut pautnya dengan keislaman dan keimanan mereka. Mereka dituntut menjadi muslim yang “utuh” lewat sistim pendidikan yang sama sekali bukan dirancang untuk itu. Tentu saja tidak adil jika kita menuntut mereka menjadi anak sholeh sementara kita tidak pernah mempersiapkan mereka untuk menghadapi gaya pendidikan massa, informasi massa, dan konsumsi massa yang tidak memihak kepada kebutuhan mereka.
Sementara itu, metodologi pengajaran yang ditempuh sekolah-sekolah Islam atau madrasah yang ada pun belum sepenuhnya mencerminkan penjabaran yang tepat atas konsep-konsep kognitif [penalaran], affektif [penghayatan], dan motorik [ketrampilan], baik dalam mensifati ilmu, metode penyampaiannya, maupun yang berkenaan dengan perkembangan kemampuan anak. Penentuan prioritas materi dan pemilihan metode yang secara tak langsung menggiring anak ke tradisi berpikir “rasionalis” membuktikan betapa dominannya pendekatan kognitif pada kurikulum awal anak-anak kita. Padahal siapa pun tahu, kemampuan anak itu berkembang mulai dari yang bersifat motorik, lalu affektif, baru kemudian kognitif. Dan konsep ilmu serta akal dalam Islam tidak identik dengan sekedar rasional. Akibatnya, yang terasa sekarang, daya mengingat anak-anak kita menjadi lemah, dan semakin cerdas mereka semakin sulit pula baginya untuk menerima hal-hal yang seharusnya cukup diimani.
Agaknya, yang tampak di permukaan, bertumpuknya beban kurikulum dan kekeliruan metodologis inilah yang paling berat dihadapi anak-anak kita. Kenyataan ini menggiring para orang tua kepada pilihan-pilihan yang sama pahitnya. Pertama, membiarkan anak menanggung beban kurikulum berlebihan dalam sistim pendidikan yang mencetak hanya muslim “tanggung”. Kedua, membiarkan anak tumbuh menjadi muslim “rasionalis” yang penguasaannya terhadap ilmu-ilmu syar’i lemah. Ketiga, memaksakan anak masuk pesantren yang sepenuhnya mengajarkan ilmu-ilmu syar’i dan meninggalkan sekolah konvensional hanya lantaran khawatir terhadap model pergaulan tidak islami, sementara mereka tidak mengerti atau tak dapat membedakan apakah yang diajarkan di sana sesuai dengan Sunnah atau justru bid’ah. Keempat, mengeluarkan biaya lebih banyak untuk mengecap janji-janji yang ditawarkan oleh model Boarding School/ Sekolah Terpadu yang dewasa ini sedang ngetrend.
Ya, ternyata persoalan utama yang sedang kita hadapi ini bukan berasal dari luar, tetapi justru datang dari dalam pendidikan itu sendiri. Kekhawatiran berlebihan yang sering digembar-gemborkan tentang dampak negatif era globalisasi sesungguhnya hanyalah cermin kebimbangan jiwa yang rapuh sebagai produk sistim dan metode pendidikan yang berlaku selama ini. Dan perlu disadari, bahwa sesungguhnya sistim pendidikan berhubungan dan merupakan cermin dari sebuah sistem sosial. Pendidikan diselenggarakan di dalam sekaligus untuk cita-cita/ideologi sistem tersebut. Artinya, masalah ini [pendidikan] bukan sekedar persoalan teknis-metodologis. Ia juga harus dilihat sebagai persoalan struktur-ideologis.
Untuk itu, pertama-tama kita harus kembali kepada keyakinan bahwa pendidikan harus juga berorientasi ke masa depan. Atas dasar sekaligus ke arah itulah persoalan teknis-metodologis didisain. Dengan demikian perlu pendataan tentang Masa Depan [Tantangan dan Harapan] di samping tentang Masa Kini [Kendala dan Peluang]. Dari sinilah rancang bangun struktur-ideologis pendidikan yang berwawasan masa depan diaktualisasikan.
Tantangan masa depan di sektor fisik-material ditandai dengan menipisnya sumber daya alam, meningkatnya polusi terutama di negara-negara “berkembang”, ledakan penduduk di perkotaan akibat urbanisasi, dan menyempitnya lapangan pendidikan dan pekerjaan. Di sektor non fisik/in-material anggota masyarakat masa depan potensial untuk menjadi sangat egois. Pergeseran nilai-nilai menjadikan masyarakat, pada situasi tertentu, mudah mengalami alienasi. Perubahan-perubahan yang sangat cepat mempermudah pula terjadinya instabilitas sosial. Gambaran ini tentu dengan asumsi bahwa masa depan “hadir tanpa kendali”.
Namun demikian, masa depan juga membersitkan harapan-harapan. Kemajuan besar di bidang iptek membuat segala teknologi dan informasi menjadi mudah dan murah. Dengan demikian, tingkat mobilitas sosial, baik dalam pengertian fisik maupun struktural menjadi semakin tinggi. Ini semua memberikan pengaruh yang sangat besar di bidang sosial. Masyarakat menjadi semakin terbuka, mandiri, dan relatif lebih egaliter.
Sementara itu, berbagai kendala pun melingkar dan menghadang di hadapan kita. Produk metode dan gaya pendidikan masa kini sering kalah cepat dalam merespon kemajuan iptek dengan segala implikasinya. Gaya pendidikan sentralistik dan semakin birokratis yang terus dipertahankan, demi alasan ideologis yang disembunyikan, menjadikan pendidikan lebih sebagai proses pengkaburan dan pemasungan ketimbang proses pencerahan dan pembebasan.
Terbatasnya ruang bagi penyelenggaraan sistim pendidikan konvensional di samping rusaknya keseimbangan demografi bukanlah semata kesalahan tata ruang di dalam program pembangunan perkotaan atau pedesaan. Ini lebih merupakan bukti kesalahan paradigmatik dari teori pembangunan yang dianut oleh hampir semua negara “berkembang”. Dampak kesalahan ini bahkan menimpa sampai kepada sistem sosial yang terkecil, yakni keluarga.
Peranan keluarga terus mengalami pelemahan disebabkan semakin beragamnya diciptakan unit kerja yang merampas peranan mereka, khususnya kaum ibu. PRT, TK, Play Group, dan Tempat Penitipan Anak telah membuat anak terlatih melonggarkan ikatan emosionalnya dengan keluarga sejak dini. Maka melemahnya kontrol sosial dan kecenderungan kehilangan jati diri anggota masyarakat merupakan konsekuensi yang sangat logis.
Di samping kendala, masa kini juga menyisakan peluang-peluang. Termasuk peluang untuk memperbaiki sistim pendidikan kita. Perubahan waktu yang sedemikian cepat memaksa setiap perencana pendidikan berbicara dalam jangkauan abad, bukan lagi tahun. Karena itu, sudah waktunya ide-ide besar di segala sektor dilahirkan. Itu artinya mungkin saja terjadi perubahan-perubahan paradigmatik, khususnya di bidang pendidikan. Hanya melalui perubahan-perubahan paradigmatik lah akan lahir bentuk pendidikan yang minimal membebaskan ketergantungan masyarakat pada sekolah, meningkatkan kesadaran dan peran keluarga serta masyarakat terhadap pendidikan, berpijak pada realitas, murah , serta memperhatikan pentingnya keseimbangan demografi dan lingkungan hidup, yang kesemua ini merupakan karakter dominan pendidikan masa depan. Inilah yang tengah dirintis oleh rumah belajar Ibnu Abbas sejak 1998 di wilayah Tanah Baru Beji Depok.
Tujuan
Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa pendidikan awal yang disodorkan kepada anak-anak kita dewasa ini sungguh sangat tidak memadai bagi terwujudnya anak yang sholeh. Pilihan yang ditawarkan tidaklah secara otomatis menyelamatkan mereka dari kekeliruan-kekeliruan teknis-metodologis yang berlaku, terlebih karena basis ideologinya tidak berubah. Maka diperlukan langkah-langkah konstruktif berbasis agama yang benar melalui pemahaman yang juga benar.
Rumah Belajar Ibnu Abbas dengan Pemahaman dan Metode Ahlus Sunnah wal Jama’ah mendidik anak untuk:
- Menghargai Ilmu.
- Menyadari dan mengembangkan Keterampilan, Penghayatan, dan Penalaran sesuai dengan perkembangan usianya.
- Mampu mengamalkan Hukum dan Perintah Allah Subhaanahu wa ta’alaa sebagai jalan untuk mengimani Ketentuan dan Kehendak-Nya.
- Mengenal dan mengamalkan prinsip-prinsip menentukan prioritas nilai dan tindakan.
- Belajar dalam situasi apapun.
- Kreatif dan produktif.
- Mengenal dan ramah terhadap lingkungan.
Rumah belajar Ibnu Abbas mendidik orangtua untuk:
- Mampu menjadi guru bagi anak-anaknya sendiri.
- Terlibat penuh di dalam persoalan pendidikan.
Rumah Belajar Ibnu Abbas mendidik masyarakat untuk:
- Menghancurkan sekat yang memisahkan antara sekolah dengan rumah.
- Menyadari dan menghargai lingkungannya sebagai media belajar.
Dari Rumah Belajar inilah kita ciptakan Lingkungan Belajar untuk membangun Masyarakat Belajar.
Nama dan Bentuk Kegiatan
Kegiatan ini kami namakan Rumah Belajar, yakni sebuah konsep “pendidikan bukan sekolah” tingkat dasar enam tahun, di mana anak usia belajar tingkat dasar dilatih cara belajar dan menjadikan rumah guru-gurunya sebagai lokasi belajar di samping masjid dan fasilitas-fasilitas umum di sekitarnya, meliputi pelajaran-pelajaran sbb:
- Tahsin Al Qur’ an (Belajar membaca dan memperbaiki cara membaca Al Qur’an)
- Tahfidz Al Qur’an (Menghafal Al Qur’an sampai selesai / 30 Juz)
- Tahfidz Al Hadits (Menghafal Hadits-hadits Aqiedah, Fiqh, dan Akhlaq)
- Tahfidz Al Mutun (Menghafal kitab ringkas : Ushuluts Tsalatsah / Al Ujurumiyah)
- Do’a & Dzikir (Menghafal do’a dan dzikir sehari-hari)
- Imla/Khot (Belajar cara menulis huruf Hija’iyah (Arab))
- Aqiedah
- Fiqh (Belajar teori dan praktek ibadah : Seputar Sholat dan Puasa)
- Akhlaq
- Bahasa Arab
- Ilmu Tajwid
- Bahasa Indonesia
- Matematika
- Keterampilan
- Olah Raga
Kegiatan belajar dimulai dari pukul 05.00 pagi (setelah sholat berjama’ah di masjid) s/d 17.30 dengan istirahat tidur siang.
0 Response to "“rumah belajar Ibnu Abbas” "
Posting Komentar
Silakan tinggalkan komentar disini